Nabi Saw. pernah ditanya tentang aurat, maka beliau bersabda,
“Jagalah auratmu, kecuali dari (penglihatan) suamimu atau budak yang kau
punya.” Kemudian beliau ditanya, “Bagaimana apabila seorang perempuan
bersama dengan sesama kaum perempuan ?” Maka beliau menjawab, “Apabila
engkau mampu untuk tidak menampakkan aurat kepada siapapun maka
janganlah kau tampakkan kepada siapapun.”
Najib Khalid al-Amir dalam bukunya yang berjudul “Menjadi Muslimah
Militan” mengisahkan: Suatu hari, seorang gadis kecil baru saja pulang
dari sekolahnya. Sesampainya di rumah, sang ibu melihat ada kesedihan
yang menyelimuti wajah putrinya itu. Dengan segera, sang ibu pun
menanyakan hal yang menyebabkannya bersedih. Sang gadis kecil menjawab,
“Wahai ibu, ibu guru telah mengancam akan mengusirku dari sekolah,
karena pakaian panjang yang aku kenakan ini.”
Sang ibu berkata dengan penuh kasih sayang, “Bukankah pakaian ini
yang dikehendaki Allah, wahai putriku?” Sang gadis menjawab, “Benar ibu.
Akan tetapi, kenapa ibu guru tidak menghendakinya?”
Sang ibu berkata, “Baiklah anakku, ibu guru tidak menghendakinya,
tetapi Allah menghendakinya. Lantas siapa yang kamu taati? Apakah kamu
menaati Allah yang telah menciptakanmu, membaguskan rupamu, dan memberi
nikmat kepadamu? Ataukah kamu menaati makhluk yang tidak memiliki
sesuatu manfaat ataupun bahaya untuk dirinya sendiri?” “Tentu aku akan
menaati Allah Swt.,” gadis kecil itu menjawab dengan lugu. Sang ibu
memujinya, “Bagus dan benarlah kamu, wahai putriku.”
Esoknya, sang gadis kecil itu berangkat ke sekolah dengan mengenakan
baju panjang (jilbab). Tatkala ibu gurunya melihat pemandangan seperti
itu, ia mencaci maki sang gadis dengan kasar. Sang gadis tidak berdaya
menghadapi caci maki yang diiringi pandangan teman-temannya itu, maka
tiada yang dilakukannya melainkan menangis.
Kemudian gadis kecil itu mengucapkan kata-kata singkat tetapi
memiliki makna yang agung, “Demi Allah, saya tidak mengetahui siapa yang
lebih aku taati, ibu guru atau Dia?” Sang guru pun bertanya keheranan,
“Siapakah Dia yang kamu maksud?”
“Dia adalah Allah. Apakah aku akan menaati ibu dengan berpakaian
seperti yang ibu kehendaki, sehingga aku mendurhakai-Nya? Ataukah, aku
menaati-Nya dan durhaka kepada ibu? Aku akan menaati-Nya dan biarlah apa
pun yang akan terjadi,” jelas gadis kecil itu.
Betapa indah dan agungnya kata-kata yang keluar dari mulut gadis
kecil itu. Sebuah kata-kata yang menggambarkan loyalitas mutlak kepada
Allah Swt.. Gadis kecil itu menegaskan komitmen dan ketaatannya kepada
perintah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. “Dan tidaklah patut bagi
laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat
yang nyata.” (QS. al-Ahzab: 36).
Namun, apakah ibu guru itu diam begitu saja? Tidak, sang guru
memanggil orangtua gadis kecil itu. Orangtua gadis itu pun memenuhi
panggilannya. Guru itu berkata kepada sang ibu, “Sungguh, putrimu telah
memberikan nasehat kepadaku dengan nasehat terbesar yang pernah kudengar
dalam hidupku.”
Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang mencari keridhaan manusia
dengan kemurkaan Allah, maka Allah akan menyerahkan orang tersebut
kepada manusia (tidak memberikan pertolongan kepadanya). Dan,
barangsiapa yang menyebabkan manusia murka dengan (melakukan apa) yang
diridhai Allah, maka Allah akan mencukupkannya dari bantuan manusia.”
Wahai saudariku, anak-anakmu berada di hadapanmu. Mereka ibarat
adonan tepung. Engkau dapat membentuknya sekehendak hatimu. Anak kecil
yang sudah dibiasakan memakai pakaian ketat dan memperlihatkan auratnya,
niscaya pada saat besarnya, dia tidak akan melepaskannya atau paling
tidak kesulitan untuk melepaskannya.
Oleh karena itu, janganlah engkau menjadikan mereka sebagai sapi
perahan. Hanya untuk menjadikan anakmu sebagai seorang artis, engkau
memakaikan atau membiarkannya memakai pakaian yang seronok. Hal itu
engkau lakukan, agar anakmu cepat terkenal di tengah publik.
Sesungguhnya anakmu tidak memberikan kebaikan sedikitpun kepada
masyarakat, justru ia hanya biang kerusakan moral.
Ingatlah, banyak kasus pemerkosaan disebabkan sebelumnya orang
melihat penampilan seronok seorang wanita. Kasihanilah anakmu, sebab
kelak ia akan celaka karena kesalahan mendidik yang engkau lakukan!
Ingatlah, surga akan engkau peroleh karena berhasil mendidik anak dengan
cara yang islami. Sebaliknya, nerakalah balasannya bagi mereka yang
menyebabkan orang lain rusak, namun tidak segera menyadarinya!
Humaid adh-Dhabbiy berkata, “Dahulu kami mendengar banyak orang terseret ke lembah kebinasaan karena keluarga mereka”
Imam Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Seseorang melihat istri
dan anak-anaknya taat kepada Allah ‘azza wa jalla, lalu adakah sesuatu
yang lebih nikmat daripada seseorang melihat istri dan anak-anaknya taat
kepada Allah?”
Prof. Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengatakan bahwa masalah jilbab (menutup
aurat) adalah kewajiban Islami yang tidak ada menyelisihinya. Ketentuan
kewajibannya berdasarkan dalil-dalil al-Quran, hadits dan kesepakatan
(ijma’) umat Islam, sesuai dengan pendapat masing-masing madzhab.
Hal itu berlangsung sampai berabad-abad lamanya. Sampai ketika para
penjajah mulai menjajah negeri-negeri kaum muslimin. Kemudian memaksakan
perilaku dan gaya kehidupan mereka kepada kaum muslimin. Sehingga,
lambat laun gaya hidup islami mulai tercemari oleh perilaku
kebarat-baratan, umat Islam mulai mengikuti budaya Barat (salah satunya
mulai menanggalkan jilbab).
Tapi generasi Islam yang sadar akan ketaatannya kepada Allah tak
pernah melepaskan jilbab walaupun orang-orang kafir tidak menyukainya.
Sesungguhnya memakai jilbab merupakan kewajiban seorang muslimah.
Seorang muslimah tidak dibenarkan – baik dilihat dari sudut agama,
akhlak, adat, peraturan, atau undang-undang negara – menolak dan
meninggalkan kewajibannya. Pasalnya, itu dapat berarti menyelisihi
akidah dan kepribadiannya sebagai seorang muslimah.